Tinjauan Peraturan Perundang-undangan Indonesia Terkait HIV Berdasarkan Standar Hak Asasi Manusia Internasional

Orang dengan HIV, adalah individu yang rentan akan pelanggaran hak asasi manusia. Penularan HIV melalui hubungan seksual yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik, yang dinilai bertentangan dengan moral di masyarakat, memunculkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV. “Stigma mengacu kepada kepercayaan dan/atau perilaku yang mendiskreditkan seseorang seperti ketika karakter tertentu dilekatkan secara berlebihan pada budaya atau keadaan tertentu dan didiskreditkan atau tidak berharga.” Stigma akan berakibat pada diskriminasi yaitu “segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi atau perlakuan yang berbeda lainnya yang secara langsung atau tidak langsung berdasarkan pada alasan diskriminasi yang dilarang dan yang bertujuan atau berdampak pada meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, pada pijakan yang sama, dari hak-hak yang tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.”

Banyak negara mengkategorisasi stigma dan diskriminasi HIV—bersama dengan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia—sebagai penghalang utama untuk meningkatkan layanan HIV/AIDS dan mencapai akses universal atas pencegahan, perawatan dan dukungan bagi orang dengan HIV secara komprehensif. Untuk mengatasi hal tersebut, semua negara anggota yang tergabung dalam PBB berkomitmen dalam Deklarasi Politik HIV/AIDS PBB tahun 2011 untuk menyusun strategi kebijakan HIV dan AIDS nasional yang mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, termasuk membuat program untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV.

Penguatan atas hak asasi manusia dapat “memastikan layanan HIV dapat dicapai oleh orang-orang yang paling membutuhkan, memberdayakan individu untuk proaktif dalam mengakses layanan kesehatan, meningkatkan permintaan layanan dan meningkatkan kualitas layanan.” Promosi dan proteksi hak asasi manusia juga berarti menciptakan lingkungan yang kondusif atau optimal untuk memberikan dan memperoleh layanan HIV yang esensial serta pengobatan dan perawatan yang lebih efisien, efektif dan berkelanjutan.14 Sebab, lemahnya perlindungan atas hak asasi manusia dapat meningkatkan penyebaran HIV dan memperburuk dampak HIV itu sendiri.

Stigma dan diskriminasi yang dialami orang dengan HIV terjadi di banyak sektor. Namun terdapat tiga sektor di mana orang dengan HIV nampaknya paling rentan menghadapi stigma dan diskriminasi. Ketiga sektor tersebut adalah kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan. Terjadinya stigma dan diskriminasi tersebut bisa disebabkan karena adanya instrumen hukum yang diskriminatif dan/atau adanya kekosongan instrumen hukum yang berlaku di suatu negara. Instrumen hukum yang diskriminatif dapat memperburuk perlindungan hak asasi orang dengan HIV, dan juga melanggengkan stigma dan diskriminasi. Sementara, ketiadaan instrumen hukum membuat orang dengan HIV tidak terlindungi secara hukum dari stigma dan praktik-praktik yang diskriminatif. Adanya instrumen hukum yang melindungi hak asasi orang dengan HIV menentukan sikap negara dalam menanggulangi HIV dan sebagai jaminan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi orang dengan HIV.

Mengingat rentannya stigma dan diskriminasi orang dengan HIV di tiga sektor tersebut, LBH Masyarakat berinisiatif melakukan audit peraturan perundang-undangan pada tataran peraturan nasional. Laporan ini hendak melihat jaminan perlindungan hukum hak asasi manusia bagi orang dengan HIV dalam ranah pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Laporan ini menganalisis peraturan di Indonesia yang berkaitan dengan HIV berdasarkan standar hak asasi manusia. Peraturan yang akan diaudit adalah peraturan yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Analisis akan dibatasi pada undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan menteri.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan berikut.

Rilis Pers – Pernyataan Sikap Bersama Masyarakat Sipil Terkait dengan Sidang Umum PBB tentang Narkotika (UNGASS), 19-21 April 2016

SAATNYA MENGEDEPANKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM MENANGGULANGI PERSOALAN NARKOTIKA

Pernyatan sikap bersama masyarakat sipil Indonesia terkait dengan

Sidang Umum PBB tentang Narkotika (UNGASS), 19-21 April 2016

___

Pada tanggal 19-21 April 2016 di New York, Amerika Serikat, akan berlangsung Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Sesi Spesial mengenai Permasalahan Narkotika Dunia (United Nations General Assembly Session atau biasa disingkat dengan UNGASS 2016).

Sehubungan dengan dilangsungkannya UNGASS 2016 yang akan dihadiri oleh negara anggota PBB, termasuk Indonesia, sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia hendak menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, sebagaimana lazimnya proses negosiasi politik multilateral tingkat tinggi di mana pemerintah sebuah negara berpartisipasi, keterlibatan dan partisipasi masyarakat sipil adalah kemutlakan. Dalam konteks ini, Pasal 3 (e) dan Pasal 6 Resolusi PBB Nomor 70/181 mengenai UNGASS 2016 telah menjamin dibukanya ruang keterlibatan masyarakat sipil dalam memberikan kontribusi di setiap tahapan persiapan UNGASS, termasuk di level nasional. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia sudah seharusnya melibatkan masyarakat sipil di dalam tahapan persiapan menuju UNGASS 2016.

Pada bulan Desember 2015, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia telah menginisiasi koordinasi terkait UNGASS di tataran instansi pemerintahan. Namun sayangnya, upaya yang dimulai sejak Desember 2015 belum melibatkan masyarakat sipil. Pada bulan Februari 2016, LBH Masyarakat telah mengingatkan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kemlu mengenai pentingnya membuka ruang partisipasi dan keterlibatan masyarakat sipil ini. Namun dua bulan berlalu, permintaan LBH Masyarakat tesebut tidak kunjung direspon oleh BNN dan Kemlu. Baru satu minggu sebelum UNGASS, Pemerintah Indonesia mengundang perwakilan masyarakat sipil untuk hadir di dalam rapat koordinasi. Tetapi, rapat koordinasi yang diadakan hanya satu minggu sebelum UNGASS berlangsung menunjukkan bahwa tidak ada itikad baik dari pemerintah untuk melibatkan masyarakat sipil secara berarti dalam perumusan sikap dan pernyataan pemerintah untuk ikut membentuk kebijakan narkotika global. Rapat tersebut seakan dipaksakan agar pemerintah dapat mengklaim telah melibatkan masyarakat sipil dalam proses UNGASS.

Kedua, kebijakan narkotika Indonesia saat ini telah memunculkan sejumlah konsekuensi negatif berupa pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kriminalisasi pemakaian narkotika sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 adalah bentuk pelanggaran hak atas kesehatan pemakai narkotika dan justru memunculkan serangkaian pelanggaran HAM lainnya. Kriminalisasi pemakaian narkotika membuat pemakai narkotika enggan dan sulit mengakses program pemulihan ketergantungan narkotika dan menjauhkan mereka dari penjangkauan layanan kesehatan, karena khawatir akan pemenjaraan. Memenjarakan pemakai narkotika justru makin menyuburkan peredaran gelap narkotika di dalam lembaga pemasyarakatan. Artinya, kriminalisasi pemakaian bukannya menurunkan angka ketergantungan, tetapi malah meningkatkannya dan memperburuk kondisi kesehatan pemakai narkotika. Dengan kriminalisasi pemakaian narkotika, pemakai narkotika juga semakin rentan mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya.

Kebijakan kriminalisasi pemakaian narkotika dan penguasaan narkotika juga telah memenjarakan banyak orang hingga penjara-penjara di Indonesia harus menampung narapidana lebih dari kapasitas yang semestinya. Anggaran penegakan hukum pun jadi membengkak, dari tahap penyelidikan sampai pemenjaraan, disebabkan oleh menumpuknya kasus-kasus semacam ini.

Ketiga, kebijakan narkotika Indonesia yang punitif juga semakin melanggengkan praktik hukuman mati dan eksekusi.  Presiden Joko Widodo telah mengeksekusi empat belas orang pelaku tindak pidana narkotika pada tahun 2015 dalam kurun waktu empat bulan. Sejak eksekusi dilakukan, angka peredaran gelap narkotika terbukti tidak menurun. Justru peredaran gelap narkotika semakin marak, dan dari banyak kasus terungkap bahwa aparat penegak hukum pun terlibat dalam peredaran gelap tersebut. Pemerintah seharusnya tidak menutup pada fakta dan bukti dalam merumuskan sebuah kebijakan. Intensi dari eksekusi mati yang dilakukan oleh Indonesia adalah memberantas peredaran gelap narkotika. Tetapi ketika peredaran gelap narkotika tetap marak sekalipun eksekusi mati dilakukan, hal ini jelas menunjukkan bahwa eksekusi mati tidak terbukti berhasil memberantas peredaran gelap narkotika.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  1. Mendekriminalisasi pemakaian narkotika serta penguasaan narkotika dalam jumlah terbatas

Sudah saatnya Indonesia mendekriminalisasi pemakaian narkotika secara sungguh-sungguh. Dekriminalisasi adalah tidak sama dengan legalisasi pemakaian narkotika. Dekriminalisasi pemakaian narkotika sesungguhnya selaras dengan pemenuhan hak atas kesehatan dan sesuai dengan semangat pemidanaan modern.

  1. Menghapus hukuman mati dalam perkara narkotika, karena tidak terbukti menurunkan angka kejahatan peredaran gelap narkotika.

UNGASS adalah peluang bagi negara-negara, termasuk Indonesia, untuk menimbang ulang kebijakan narkotikanya saat ini dan memberikan ruang bagi pendekatan baru yang lebih berpijak pada hak asasi manusia, kesehatan publik, inklusi sosial dan ilmiah. Oleh karena itulah UNGASS menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk mengevaluasi kebijakan narkotikanya agar tidak lagi menggunakan cara-cara lama yang justru berimplikasi pada pelanggaran hak asasi manusia. Penanggulangan persoalan narkotika haruslah dan dapat sejalan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Jakarta, 17 April 2016

Koalisi Masyarakat Sipil

1. East Java Action (EJA)

2. Human Rights Working Group (HRWG)

3. Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)

4. Imparsial

5. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

6. Jaringan Nasional GWL-INA

7. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

8. LBH Masyarakat

9. Lingkar Ganja Nusantara (LGN)

10. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI)

11. Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI)

12. Pelopor Perubahan Institute

13. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)

14. Rumah Cemara (RC)

15. Stigma Foundation

16. Yayasan GAYa NUSANTARA

17. Yayasan Karisma

18. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

19. Yayasan Orbit

Narahubung:

Ricky Gunawan             (rgunawan@lbhmasyarakat.org)

Albert Wirya                  0819 3206 0682 (awirya@lbhmasyarakat.org)

 

Di Ujung Palu Hakim: Dokumentasi Vonis Rehabilitasi di Jabodetabek Tahun 2014

Pada tahun 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 (SEMA No. 4 Tahun 2010) yang menjadi panduan bagi hakim untuk mengidentifikasi apakah seseorang merupakan pengguna narkotika dan memiliki kebutuhan untuk direhabilitasi. Hingga tahun 2015, tidak pernah ada dokumentasi mengenai pelaksanaan dari SEMA No. 4 Tahun 2010. Oleh karena itu, LBH Masyarakat berinisiatif untuk mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penelitian mengenai implementasi SEMA No. 4 Tahun 2010.

Untuk melihat implementasi dari SEMA No. 4 Tahun 2010 ini, peneliti menggunakan metode penelitian empiris dengan pendekatan kuantitatif. Peneliti mengumpulkan putusan di 9 (sembilan) pengadilan negeri di wilayah Jabodetabek yang diputus sepanjang tahun 2014, dan diunduh di website resmi Mahkamah Agung. Kriteria putusan yang diunduh adalah putusan tersebut memiliki barang bukti di bawah ambang batas jumlah narkotika yang telah ditetapkan oleh SEMA No. 4 Tahun 2010.

Dari putusan yang telah diunduh, peneliti akan melihat apakah putusan-putusan tersebut memenuhi semua kriteria seperti yang ditentukan oleh SEMA No. 4 Tahun 2010 yaitu: barang bukti dibawah ambang batas jumlah maksimum narkotika; tertangkap tangan; positif menggunakan narkotika yang dibuktikan melalui tes urine; dan hasil asesmen medis dari dokter jiwa/psikiater. Kriteria terlibat dalam peredaran gelap narkotika tidak peneliti sertakan karena bias dan tidak bisa diukur.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan ini.  

Reality Behind Bars

Law enforcement measures inevitably involve a contradiction: on the one hand they aim to create order by imposing certain restrictions on freedoms and liberties, while on the other hand they must honor liberties and freedoms of every individual that they limit. Humans inherently are endowed with rights, and when these rights are derogated from them, their humanity is undermined. A question then arises, in the event of a crime that poses a threat to public order what are we supposed to do with the perpetrators of the crime? Doing nothing will disrupt public order and will lead to a chaos that in turn will deny the human rights of other individuals. Law enforcement essentially involves some restrictions to the human rights of the perpetrators, but at the same time, the perpetrators of the crime are also humans endowed with rights that must be protected. This is exactly the critical point of the tension between these two opposite situations.

You can download this book from this link.

Mengurai Undang-Undang Narkotika

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut dengan UU Narkotika) diundangkan pada tanggal 12 Oktober 2009. Undang-undang ini merupakan revisi atas undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi direvisinya UU Nomor 22 tahun 1997 tersebut, antara lain: tindak pidana narkotika yang dilakukan dengan modus operandi yang semakin canggih, materi undang-undang yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan situasi terkini, dan perlunya penguatan kelembagaan dalam hal pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Secara umum, terdapat beberapa hal baru yang dikenalkan oleh UU Narkotika, antara lain: adanya perubahan dan penambahan definisi di dalam bab tentang Ketentuan Umum, ruang lingkup dan tujuan yang diperluas, perluasan alat bukti dan adanya teknik penyidikan narkotika yang baru, serta ancaman pidana minimal untuk semua golongan narkotika.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Dokumentasi Pelanggaran Hak Tersangka Kasus Narkotika

Buku ini memuat laporan dokumentasi yang telah LBH Masyarakat lakukan selama satu tahun sepanjang 2011. Hasil dokumentasi tersebut mengafirmasi cerita-cerita yang sebelumnya pernah kami dengar. Nyaris semua tahanan kasus narkotika pernah mengalami pelanggaran HAM di tingkat penyidikan, baik upaya paksa yang dilakukan dengan sewenang-wenang oleh pihak kepolisian maupun penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya. Buku ini tidak berpretensi untuk menyajikan laporan penelitian kuantitatif melainkan lebih kepada pemaparan analisis kualitatif yang terefleksi dari hasil temuan tersebut.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Indonesia, beberapa waktu yang lalu telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini tentu layak mendapat apresiasi positif karena menjadi landasan hukum bagi setiap orang untuk hak atas informasi, sekalipun dalam beberapa hal, undang-undang ini memiliki keterbatasan.

Buku saku ini disusun sebagai upaya untuk mengenalkan undang-undang yang baru tersebut kepada pendamping masyarakat dan aktivis ornop. Diharapkan setelah membaca buku saku ini dapat memperoleh pemahaman yang mendasar mengenai undang-undang tersebut, sehingga dapat menggunakannya ketika diperlukan terutama dalam kerja-kerja mendampingi masyarakat.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Wajah Pemberdayaan Hukum Masyarakat

Buku berjudul Wajah Pemberdayaan Hukum Masyarakat ini hadir dengan maksud untuk memberi potret yang jelas untuk menggambarkan apa itu pemberdayaan hukum masyarakat ala LBH Masyarakat. Kami sadar betul bahwa rumusan dalam buku ini bukanlah rumus baku untuk menjalankan pemberdayaan hukum masyarakat. Penjabaran ide-ide dalam buku ini hendaknya diperlakukan sebagai uraian ramuan, yang peracikannya diserahkan kepada setiap pelaku pemberdayaan. Gagasan dalam buku ini juga memang sejak awal diposisikan sebagai living manifestos. Dia tidak kaku, fleksibel dan adaptif. Dia akan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Mengingat masyarakat akan terus berubah, begitu pula halnya dengan pemberdayaan hukum. Kami juga sadar betul bahwa pemberdayaan hukum masyarakat akan ada banyak model. Oleh karena itulah, buku ini adalah satu dari sekian banyak referensi yang dapat Anda rujuk ketika hendak menjalankan pemberdayaan hukum.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Jejak Langkah Menciptakan Pengacara Rakyat

Buku “Jejak Langkah Menciptakan Pengacara Rakyat” adalah kumpulan pengalaman para penyuluh hukum LBH Masyarakat dalam melakukan pemberdayaan hukum di empat komunitas. Empat komunitas itu adalah komunitas nelayan Kali Adem, komunitas remaja keluarga korban Tragedi Mei 1998 di Klender, komunitas pemakai dan mantan pemakai narkotika di Jakarta, dan komunitas remaja yang bersekolah di sekolah alternatif di Terminal Depok.

Catatan perjalanan yang para penyuluh tuliskan di buku ini tidak berintensi untuk menjadi sebuah panduan lengkap dalam melakukan aktivitas pemberdayaan hukum. Guratan tulisan dalam buku ini sesungguhnya bertujuan untuk berbagi cerita perjalanan yang para penyuluh alami dalam melakukan pemberdayaan hukum. Membaca torehan pengalaman para penyuluh hukum dalam buku ini bisa membuat Anda tertawa kecil, larut dalam haru, terbawa dalam kegeraman, dan bukan tidak mungkin menginspirasikan Anda untuk dapat berbuat lebih dalam melakukan pemberdayaan hukum.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

AM dari Depok: Sebuah Refleksi akan Pentingnya Penasihat Hukum dalam Kasus Narkotika Anak

Menurut hukum, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[1] Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah berumur dua belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dengan demikian, negara tidak berhak melanjutkan proses persidangan anak yang belum genap berusia dua belas tahun.[2] Dari pantauan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat, 27,5% penghuninya adalah anak yang terlibat dengan kasus narkotika dan sisanya terlibat kasus kriminal seperti pencurian, penganiayaan, pembunuhan, dan pelecehan seksual.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) beberapa kali meyelenggarakan kegiatan penyuluhan dan sesi konsultasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah DKI Jakarta yaitu di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat. Kami sering memberikan bantuan hukum pada anak yang terlibat dalam kasus narkotika baik melalui penyuluhan maupun sesi konsultasi. Beberapa anak sering menjadi perantara dalam transaksi jual-beli narkotika dengan tugas mengantarkan narkotika tersebut kepada orang lain (pembeli).

Disebabkan oleh faktor ekonomi keluarga yang minim, anak bisa terpengaruh oleh iming-imingan uang dalam memutuskan untuk menjadi perantara dalam transaksi jual-beli narkotika. Namun anak sering belum menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah bertentangan dengan hukum di Indonesia dan dapat dijerat pidana penjara.

Beberapa anak yang kami dampingi bahkan dapat dikategorikan sebagai pecandu narkotika. Baik anak maupun orang dewasa yang menjadi pecandu narkotika sudah seharusnya tidak dipenjara, sesuai dengan amanat Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa: “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

Anak-anak tersebut kini harus melewati proses persidangan. Kurangnya pendampingan penasehat hukum atau pengacara saat proses penyidikan di tingkat kepolisian berpotensi membuat hak-hak anak tidak terpenuhi. Contohnya, jika seorang anak terbukti sebagai pecandu narkotika, maka dari awal pada anak itu semestinya diberikan asesmen agar si anak tidak dipidana penjara tapi ditempatkan di tempat rehabilitasi.

Bagaimana jika anak tersebut tidak didampingi pengacara sampai proses persidangan? Apakah si anak mengerti agenda-agenda persidangan yang akan mereka jalani? Misalkan, proses eksepsi.[3] Melalui eksepsi, dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang keliru bisa ditangkis. Jika seandainya si anak menghadapi proses persidangan tanpa pengacara, apakah eksepsi itu berani diajukan? Kemudian, jika dari awal dakwaannya sudah salah, bagaimana nasib agenda-agenda sidang berikutnya?

Kebutuhan akan hadirnya pengacara dalam kasus anak berhadapan dengan narkotika sering terbentur dengan tudingan yang umum di tengah masyarakat bahwa, “memakai jasa pengacara dalam kasus narkotika bikin proses persidangan lama dan toh hasilnya sama saja”. Namun keberadaan istilah ini telah mengurungkan niat banyak tersangka, terdakwa, maupun keluarga mereka untuk menggunakan jasa pengacara. Mereka terlena dengan bujukan “Sudahlah, yang peting cepat.” Namun untuk apa proses persidangan cepat tapi hasilnya merugikan kita sendiri?

Belum lagi keraguan dan ketakutan keluarga yang memiliki kesulitan ekonomi untuk mengeluarkan uang bagi jasa si pengacara tersebut. Tidak semua orang mengetahui adanya keberadaan organisasi yang memberikan bantuan hukum secara gratis. LBH Masyarakat adalah salah satu contoh lembaga non-profit yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, tidak mampu, buta hukum, dan tertindas.

***

Masih teringat di benak saya, pada tanggal 11 Desember 2015, datanglah seorang laki-laki bersama saudara dan temannya dari Depok, Jawa Barat ke kantor kami, LBH Masyarakat, di Jalan Tebet Timur Dalam VI No. 3, Jakarta Selatan. Ia adalah ayah dari AM, 15 tahun, yang menjadi tersangka kasus Narkotika dengan sangkaan pasal 114 ayat (1) sub. 111 ayat (1) jo. 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Setelah mendengar kronologis secara umum dari si ayah (RT), kami putuskan untuk langsung bertemu dengan anak tersebut di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat untuk mencari informasi dan kronologis lebih dalam lagi, langsung dari si anak tersebut. Kami dapati bahwa AM tersangkut kasus ganja. Ia tertangkap bersama satu orang dewasa dan satu orang teman sekolahnya di daerah Depok.

AM mengatakan bahwa pada tanggal 14 Desember 2015 ia sudah harus menjalani proses persidangan. Mendengar kabar tentang waktu yang singkat itu, kami langsung menanyakan kepada si ayah, “Apakah kalian mau kami beri Pendampingan Hukum pada saat proses persidangan?“ Mereka langsung menyetujui untuk menerima bantuan hukum dari kami. Surat kuasa langsung dibuat dan kami ajukan kepada anak dan ayah untuk ditandatangani di atas materai Rp 6.000,-.

Sidang pertama dibuka dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilanjutkan dengan agenda pembuktian dengan mendengarkan keterangan saksi, seorang polisi dari Polsek Pasar Minggu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu, AM tidak sendiri. AM duduk berdampingan di depan hakim bersama temannya, yang juga masih dalam kategori anak, berinisial KM. Hakim kemudian menanyakan kepada KM tentang keberadaan pengacara. KM bersama keluarga pun kemudian menunjuk LBH Masyarakat sebagai penasihat hukum.[4]

Hanya sehari kemudian, pada tanggal 15 Desember 2015, agenda persidangan adalah tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. Mereka (AM dan KM) dituntut pidana penjara 2 tahun 8 bulan. Melihat ancaman hukuman pidana penjara tersebut, kami langsung membuat nota pembelaan bagi dua anak tersebut. Kami beragumen bahwa AM dan KM tidak terbukti secara sah melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, memberi, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Kami juga meminta hakim untuk agar segera mengeluarkan mereka (AM dan KM) dari tahanan dengan pidana alternatif berupa pengawasan dari Jaksa Penuntut Umum dan Pembimbing Kemasyarakatan sesuai dengan Pasal 71 ayat (1) jo. Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Ternyata, di hari yang sama Hakim langsung menjatuhkan Putusan kepada mereka, AM dan KM. Setelah kami sebagai tim kuasa hukum menyampaikan pledoi, secara tertulis dan lisan, di dalam ruang sidang anak dan didengarkan oleh Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Panitera dan dua anggota Balai Pemasyarakatan, Hakim meminta seluruh yang ada di ruang sidang anak untuk keluar dari ruangan (kecuali mereka sebagai terdakwa). Hakim ingin berpikir serta menimbang pokok pembelaan yang kami ajukan. Setelah 10 menit sidang diskors, Panitera yang bertugas  kemudian memanggil kami untuk masuk dan mendengarkan putusan dari si Hakim. Dengan suara yang cukup lantang dan penuh percaya diri, Hakim memutuskan untuk memberikan pidana 1 tahun 8 bulan Pidana Penjara oleh karena bagi hakim yang terbukti ialah Pasal 111 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hakim bersifat kooperatif dan langsung menanyakan, Apakah kalian menerima putusan tersebut? Atau kalian mau melakukan upaya hukum?” Pertanyaan itu langsung ditujukan kepada kami sebagai Penasihat Hukum. Kami menjawab bahwa kami memerlukan waktu untuk berpikir-pikir terlebih dahulu selama waktu yang telah ditentukan Undang-Undang.

Kami selaku Penasihat Hukum menjelaskan kepada keluarga tentang apa yang harus dilakukan, apakah harus menerima atau harus melakukan upaya hukum. Kami memberitahukan kepada keluarga si anak segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika menerima atau mengajukan banding. Semua itu disampaikan agar keluarga bisa berpikir lebih jauh dan memberikan jawaban kepada kami.

Akhirnya keluarga dari dua anak tersebut sepakat memutuskan untuk melakukan banding atas putusan Hakim. Mendapat kabar tentang keputusan keluarga, maka kami langsung memberitahukan permohonan banding secara lisan kepada Panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selang 3 hari kemudian, kami langsung berikan semua persyaratan banding kami, yaitu memori banding dan surat kuasa ditambah dengan surat penangguhan penahanan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kami beranggapan bahwa anak tidak layak diberikan pidana di dalam penjara karena potensi anak yang masih bisa berkembang dengan menuntut ilmu. Bayangkan jika mereka dipenjara selama satu tahun, maka selama satu tahun juga si anak tersebut berada di Lapas Salemba dan tidak mendapatkan pendidikan secara penuh yang akan menjadi bekal mereka untuk dewasa kelak.

Hal yang berbeda akan terjadi apabila mereka dipenjara. Sekeluarnya mereka dari sana, besar potensi bahwa kerasnya kehidupan penjara itu akan ‘terbawa’ ke keluarga dan lingkungan tempat dia tinggal, bermain atau bekerja. Namun jika mereka ditempatkan di luar penjara, mereka dapat memperoleh pendidikan maupun pelajaran kerohanian.

Dua puluh lima hari berikutnya keluarlah putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dua orang staf dari LBH Masyarakat yang ingin mengetahui hasil putusan banding pergi ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Begitu sampai di ruang panitera pidana, kami langsung diberikan ucapan selamat oleh si Panitera. Kami bingung akan maksud ucapan tersebut yang kurang lebih isi percakapannya sebagai berikut: “Kalian siapa? Penasihat Hukumnya ya?” Kami menjawab benar bahwa kami memang Penasihat Hukum dari kedua anak tersebut. “Wah selamat ya, mereka diberikan pidana penjara hanya delapan bulan saja oleh Hakim.”

Sontak kami berdua bingung mengapa kami diberi selamat karena memori banding yang kami ajukan tidak mempermasalahkan waktu pemidanaan melainkan tempat pemidanaan dan jenis pemidanaannya. Meskipun demikian, kami tetap mengabari keluarga AM dan KM tentang hasil putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut. Keluarga langsung senang mendapatkan hasil putusan tersebut. Padahal kami selaku Penasihat Hukum sudah sepakat bersama keluarga untuk mengajukan upaya hukum banding atas jenis dan tempat pemidanaan, bukan waktu pemidanaan. Namun dikarenakan keluarga sudah menerima putusan ini, kami anggap tugas kami selaku Penasihat Hukum sudah selesai.

***

Kami memandang bahwa Penasehat Hukum sangat mempunyai peran penting dalam mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum, terutama pada kasus narkotika. Memang dari kasus di atas, kami tidak berhasil membantu dua anak tersebut untuk lolos dari pidana penjara. Namun setidaknya, kami sudah berhasil membuat hukuman yang dijatuhkan kepada mereka sedikit lebih rendah. Ini bantahan langsung pada argumen bahwa kehadiran pengacara tidak memberi dampak. Ditambah lagi, kami berikan bantuan hukum ini secara gratis. Ini hanya satu bagian dari perjalanan kami dalam berjuang bagi masyarakat. Sebuah perjalanan yang berliku dan banyak rintangan, tetapi kami yakin bahwa keadilan bukanlah sebuah utopia.

 

Penulis: Yosua Octavian

Editor: Yohan Misero

 

[1]Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

[2]Pasal 1 Angka (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[3]Tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima | Yahya Harahap; Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan; Sinar Grafika; 2007; Hal. 418

[4] Surat kuasa hari itu adalah kuasa lisan dan disetujui oleh Hakim dan Jaksa.